Rabu, 06 Juni 2012

Konservasi flora fauna


BAB I
PENURUNAN UKURAN POPULASI

1.Pembunuhan tak terkendali
            Pembunuhan tak terkendali merupakan pembunuhan yang terjadi secara tidak terkendali. Pada Negara yang sedang berkembang, kasus pembunuhan yang tak terkendali sangat memprihatinkan. Beberapa hewan diketahui rentan terhadap perburuan tak etrkendali seperti gajah, badak, paus dan lainya. Contoh klasik adalah kasus perburuan gajah afrika untuk diambil gadingnya. Pada Tahun 1970-an ketika harga gading meningkat, terjadilah perburuan yang tidak terkendali. Kasus kepunahan Harimau jawa di Indonesia juga di duga disebabkan oleh perburuan tak terkendali pada tahum 1950-an, ketika populasi Harimau tinggi.
2.Fragmentasi Habitat
            Fragmentasi Habitat adalah sebuah proses perubahan lingkungan yang berperan penting dalam evolusi dan biologi konservasi. Sebagaimana yang tersirat pada namanya, ia mendeskripsikan kemunculan fragmentasi lingkungan pada habitat suatu organisme. Fragmentasi habitat dapat disebabkan oleh proses-proses geologis yang secara perlahan mengubah tata letak lingkungan maupun oleh aktivitas manusia yang dapat mengubah lingkungan secara cepat. Proses fragmentasi habitat secara alami diduga merupakan salah satu sebab utama spesiasi, sedangkan proses fragmentasi habitat oleh manusia menyebabkan kepunahan banyak spesies
Fragmentasi habitat sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia, seperti agrikultur dan urbanisasi. Habitat yang sebelumnya terhubung menjadi terbagi menjadi dua fragmen. Setelah pembersihan habitat yang intensif, kedua fragmen yang terpisah tersebut akan terisolasi satu dengan lainnya.
Lahirnya era reformasi di Indonesia yang telah disalah artikan oleh berbagai kalangan ternyata membawa dampak berupa ancaman serius terhadap kawasan konservasi di berbagai tempat.         
Ancaman tersebut diantaranya berupa penebangan hutan secara membabi buta, perambahan kawasan konservasi di berbagai tempat, pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan lain kegiatan yang berdampak langsung pada habitat satwa liar yang umumnya terdapat di Kawasan konservasi.
Berbagai kegiatan tersebut umumnya meninggalkan bekas berupa kawasan hutan yang telah terbuka sehingga menimbulkan dampak berupa fragmentasi habitat dari satwa liar. Kondisi ini terjadi pada beberapa kawasan konservasi di Indonesia, salah satunya adalah kawasan Taman Nasional Kutai yang dibelah oleh jalan trans Kalimantan yang menghubungkan antara Kota Bontang dan Kota Sangatta.
Menurut Wilcove dkk. (1986) Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen.
Primack dkk. (1998) menyatakan, bahwa habitat yang telah terfragmentasi oleh adanya pembuatan jalan, lahan pertanian, perkotaan atau kegiatan manusia yang lain menyebabkan terjadinya dua hal penting yaitu:
1. Fragmen memiliki daerah tepi yang lebih luas daripada habitat asal
2. Daerah pusat (tengah) lebih dekat ke daerah tepi
Suatu jenis tertentu akan memiliki ruang gerak yang lebih sempit untuk melakukan aktivitas hidupnya akibat daerah pusat dari suatu habitat tersebut lebih dekat dengan daerah tepi sehingga predator ataupun makhluk hidup pengganggu lebih mudah berinvasi ke dalam.
Munculnya fragmentasi habitat bermula dari adanya pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan. Selain menjadi akses bagi para perusak hutan, jalan juga menyebabkan kawasan hutan menjadi terbelah. Kondisi ini juga bisa menyebabkan adanya efek tepi yaitu efek buruk yang ditimbulkan oleh keberadaan daerah tepi. Efek tepi bisa menyebabkan turunnya kelembapan udara, mengeringkan serasah akibat udara panas yang berhembus dari lahan terbuka di tepi hutan dan masuk ke dalam kawasan  hutan sehingga  membuat stres pada beberapa tumbuhan. Selain itu daerah tepi biasanya digunakan oleh para satwa predator untuk menunggu buruanya sehingga seringkali dimanfaatkan oleh para pemburu liar untuk mendapatkan tangkapan satwa.
Efek tepi bisa membuat kondisi habitat tidak lagi nyaman ditinggali oleh satwa dan tumbuhan. Beberapa makanan satwa seringkali tidak bisa dijumpai pada daerah tersebut karena terkena dampak pemanasan dari daerah tepi sehingga menyebabkan tumbuhan pakan satwa tersebut menjadi mati. Demikian pula tumbuhan lain yang berada di tempat tersebut yang sensitif terhadap panas dan kelembapan udara yang turun drastis akan mengakibatkan tumbuhan tersebut tidak bisa hidup secara normal. Habitat dengan kondisi tersebut dinamakan sebagai habitat tepi.
Apabila diukur, lebar jalan yang dibuat biasanya hanya mencapai 10 atau 12 meter, akan tetapi dampaknya bisa lebih besar dan bahkan bisa mencapai kiloan meter. Sehingga habitat yang tadinya luas untuk hidup nyaman bagi para satwa dan tumbuhan liar akhirnya menjadi menyempit, belum lagi ditambah dengan adanya kegiatan para perusak hutan yang bisa masuk dengan menggunakan akses jalan tersebut.
Fragmentasi habitat juga mengakibatkan adanya komunikasi antar satwa liar menjadi terputus sehingga menimbulkan terjadinya perkawinan dengan sejawatnya (inbreeding) yang akan menghasilkan keturunan yang lemah daya tahan tubuhnya sehingga mudah terserang penyakit dan akhirnya lebih banyak yang mati, sehingga regenerasi menjadi rendah. Apabila satwa tersebut banyak yang mati, maka kecenderungannya adalah menjadi punah dan sulit untuk menjumpainya lagi.
Untuk menyiasati agar terjadi hubungan komunikasi antar satwa liar dari tempat lain biasanya dibuat koridor yang menghubungkan antara kawasan hutan yang satu dengan yang lainnya. Namun jalan dengan kepadatan laulintas tinggi dan pemukiman yang padat akan sulit di lewati oleh satwa untuk menyeberang.
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap akibat adanya fragmentasi habitat disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan yang tidak hanya terdapat pada masyarakat kelas bawah namun juga pada masyarakat kelas menengah ke atas yang umumnya lebih silau dengan uang segar (fresh money) yang dihasilkan dengan mengeksploitir hutan secara membabi buta yaitu dengan cara mengambil kayunya, menguras isi perut hutan berupa batu bara, emas, dan lain sebagainya dan tidak bisa memulihkan kembali kondisi hutan seperti sedia kala bahkan telah dirubah fungsi sebagai kawasan non kehutanan.
Kondisi ini perlu diatasi dengan berbagai upaya diantaranya penyuluhan, penerbitan buku yang berisi penelitian tentang dampak fragmentasi habitat, deseminasi, seminar, simposium, lokakarya atau tulisan – tulisan yang bisa mengubah pola pandang dan pola pikir terhadap berbagai kawasan konservasi yang ada. Kegiatan tersebut diharapkan mampu meredam laju pengrusakan terhadap kawasan konservasi sehingga bahaya kepunahan terhadap satwa liar akan bisa tereliminir.
Upaya penyadaran memang tidaklah mudah karena berbagai kendala akan muncul, namun yang diharapkan adalah niat yang tulus dan iklas serta didukung semangat yang tinggi dan tak kenal lelah sehingga hasil yang diharapkan akan memuaskan semua pihak.

3. Invasi spesies eksotis
Menurut Wikipedia (2008), spesies invasif mempunyai beberapa macam definisi, yaitu (1) non-indigenous species atau spesies asing yang menyebabkan habitat diinvasi dan dapat merugikan baik secara ekonomis, lingkungan maupun ekologis; (2) native dan non-native species, spesies yang mengkoloni secara berat habitat tertentu; dan (3) widespread non-indigenous species, spesies yang mengekspansi suatu habitat. Jadi spesies invasif mencakup spesies asing (eksotik) dan spesies asli yang tumbuh di habitat alaminya.
Karakter spesies invasif antara lain: tumbuh cepat, reproduksi cepat, kemampuan menyebar tinggi, toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan, kemampuan untuk hidup dengan jenis makan yang beragam, reproduksi aseksual, dan berasosiasi dengan manusia.
Spesies asing invasif adalah spesies-spesies flora maupun fauna, termasuk mikroorganisma yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak mempunyai musuh alami, sehingga menjadi gulma, hama dan penyakit pada spesies-spesies asli.
(1)     Berdasarkan data The Invasive Species Specialist Group/ISSG (2004) terdapat sekitar 100 spesies yang sangat invasif, termasuk diantaranya kirinyu (Chromolaena odorata) (Lampiran 1). Invasi hayati oleh spesies-spesies saat ini telah disadari sebagai salah satu ancaman pada keberlangsungan keanekaragaman hayat dan ekosistem asli.  Sebagai kompetitor, predator, patogen dan parasit, spesies-spesies asing invasif ini mampu merambah semua bagian ekosistem alami/asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli.  Dalam skala besar spesies asing invasif ini mampu merusak ekosistem alami/asli.
Selama jutaan tahun, hambatan alam berupa lautan, pegunungan, sungai dan gurun menjadi isolasi alam yang berfungsi sebagai penghalang pergerakan alami sehingga keunikan berbagai spesies dan ekosistem tetap terjaga.  Penghalang alam yang telah ada dalam ratusan tahun tersebut menjadi tidak efektif disebabkan berbagai perubahan global yang membuat suatu spesies dapat berpindah melintasi jarak yang jauh dan masuk ke suatu habitat baru dan menjadi spesies asing invasif.
Penghalang alami yang mampu menahan interaksi berbagai spesies selama jutaan tahun telah berakhir dengan meningkatnya pergerakan dan kegiatan manusia.  Transportasi global, pertumbuhan volume perdagangan dan wisata serta ditambah adanya perdagangan bebas memberikan kesempatan yang lebih besar bagi suatu spesies untuk berpindah dari habitat aslinya.  Penghalang pergerakan alami yang semula mampu mengisolasi pergerakan spesies-spesies asing ini dapat terjadi secara disengaja, melalui introduksi spesies komoditas, perdagangan dan kepariwisataan, atau tidak disengaja, melalui penempelan berbagai spesies makhluk hidup ini pada kapal, kontainer, mobil, benih, dan tanah.
4. Rantai kepunahan
Kepunahan merupakan ancaman nyata bagi berbagai makhluk hidup. Sayangnya, kepunahan yang menimpa puluhan bahkan ratusan spesies hewan dan tumbuhan di seluruh dunia bukanlah karena seleksi alam, di mana yang kuat yang menang. Kepunahan itu lebih karena seleksi buatan manusia, di mana yang tak terjamah tangan manusia yang bisa bertahan hidup.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan, banyaknya spesies yang hilang dapat memengaruhi kondisi kehidupan manusia.
Melebarnya kota-kota, lahan pertanian, dan infrastruktur merupakan alasan utama sulitnya menahan kerusakan keanekaragaman hayati. PBB juga melaporkan, saat ini sistem alami seperti hutan dan lahan basah telah rusak. Proses alami seperti pemurnian udara dan air juga hilang.
Menurut hasil penelitian Global Species Assessment (GSA) tahun 2004, sekitar 15.589 spesies yang terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan lumut kerak, diperkirakan berada dalam resiko kepunahan. Belum lagi ditambah dengan jenis makhluk hidup lain yang tidak teridentifikasi.
S.L. Pimm dalam The Future Of Biodiversity mengemukakan bahwa laju kepunahan spesies saat ini adalah 10 hingga 100 kali lipat dari laju kepunahan alami. Bila tingkat laju kepunahan berlanjut atau terus meningkat, jumlah spesies yang menjadi punah dalam dekade berikut bisa berjumlah jutaan. Sebagian besar orang hanya berpikir hanya spesies mamalia berukuran besar dan burung yang terancam kepunahan, tapi sebenarnya kestabilan seluruh ekosistem menjadi terganggu dengan punahnya spesies kunci pada salah satu rantai makanan.
Gangguan atau kerusakan pada berbagai ekosistem yang paling menonjol dan yang menyebabkan komponen yang menyusun ekosistem, yaitu keanekaragaman varietas (genetic, variety, atau subspecies diversity), keanekaragaman jenis (species diversity) juga ikut terganggu. Akibatnya, terjadilah kepunahan varietas atau jenis hayati yang hidup di dalam ekosistem. Pada akhirnya, baik secara langsung ataupun tidak langsung, manusia yang sangat tergantung pada kelestarian ekosistem tapi berlaku kurang bijaksana terhadap lingkungannya, akan merasakan berbagai akibatnya. Kerusakan lingkungan, khususnya di Indonesia, telah terjadi pada berbagai tempat dan berbagai tipe ekosistem. Misalnya, pada ekosistem pertanian, pesisir dan lautan. Ancaman kepunahan satwa liar juga telah terjadi di mana-mana.
Hilangnya satu spesies dari muka bumi berarti berkurangnya kekayaan alam, sekaligus menjadi isu moral bagi pihak yang berpendapat manusia sebagai penanggung jawab kelestarian lingkungan, sekaligus pihak yang mendukung hak hidup untuk semua spesies hewan.
Kepunahan suatu spesies yang menjadi mangsa atau pemangsa dalam suatu ekosistem berdampak pada peningkatan atau penurunan jumlah populasi spesies lain. Begitu seterusnya, hingga semua spesies musnah dan ekosistem menjadi rusak dan tidak bisa kembali seperti semula. Selain itu, setiap spesies memiliki materi genetik yang unik yang tersimpan dalam DNA, dan menghasilkan bahan kimia yang unik sesuai instruksi genetik yang dimiliki. Bahan kimia dari tumbuhan, misalnya sangat berpotensi untuk digunakan sebagai senyawa obat-obatan dalam industri farmasi.
Sudah sangat banyak bukti yang menunjukkan betapa lingkungan telah semakin rusak dan beraneka ragam spesies yang semakin punah. Banyak hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk penyelamatan lingkungan yang juga bermanfaat untuk penyelamatan makhluk hidup lainnya.  kepunahan satu spesies, membuka jalan kepunahan spesies lainnya termasuk kita manusia

Faktor - Faktor  Penyebab  Kepunahan Jenis  :
1.Kerusakan  Hutan
Kerusakan hutan juga berperan andil  dalam menurunnya kenekaragaman hayati (spesies). Di Aceh, hampir 30 hektar hutan rusak setiap tahunnya. Total luas hutan di Aceh adalah 3,3 juta hektare atau sekitar 62,7 persen luas total wilayah Aceh. Pembalakan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit meruapakan faktor terbesar rusaknya hutan Aceh.Akibat dari rusaknya hutan dan pencemaran lingkungan adalah semakin meningkatnya pemanasan global (global warming) yang berdampak pada perubahan iklim. Para ilmuwan telah menunjukkan dengan penelitian intensif bahwa planet bumi telah terancam. Selain itu akibat perubahan iklim dan kehilangan habitat dan ekspansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan spesies semakin  bertambah tinggi.

2.Perburuan Liar
Perburuan liar banyak dilakukan  oleh masyarakat ,misalnya perburuan burung jalak putih, karena jenis burung itu laku dijual  mahal di pasar-pasar burung di kota, sehingga para  pemburu liar ini mendapat penghasilan yang cukup  besar dari memperdagangkan burung itu. Selain burung jalak putih banyak hewan – hewan yang terancam punah karena perburuan liar misalnya, gajah Sumatra, harimau Sumatra, badak bercula satu , cendrawasih , orang utan , dan masih banyak yang lainnya. Perburuan liar  yang  lainnya , contohnya perburuan ikan di laut yang banyak menggunakan pukat atau bom , dengan cara tersebut nelayan memang mendapatkan ikan yang banyak dan mudah, namun tanpa disadari cara tersebut telah merusak seluruh  ekosistem  yang ada di sekitarnya. Sehingga menambah panjang deretan kepunahan jenis.

3.Pertambahan Penduduk
Pertambahan penduduk adalah ancaman terbesar dari masalah lingkungan hidup di Indonesia dan bahkan dunia saat ini. Setiap orang memerlukan energi, lahan dan sumber daya yang besar untuk bertahan hidup. Jika populasi bisa bertahan pada taraf yang ideal, maka keseimbangan antara lingkungan dan regenerasi populasi dapat tercapai. Namun kenyataannya adalah populasi bertumbuh lebih cepat dari kemampuan bumi dan lingkungan kita untuk memperbaiki sumber daya yang ada sehingga pada akhirnya kemampuan bumi akan terlampaui dan berdampak pada kualitas hidup manusia yang rendah.Pada tahun 1960 hingga 1999, populasi bumi berlipat ganda dari 3 milyar menjadi 6 milyar orang. Pada tahun 2000 populasi sudah menjadi 6.1 milyar. PBB memprediksi bahwa populasi dunia pada tahun 2050 akan mencapai antara 7.9 milyar sampai 10.9 milyar, tergantung ada apa yang kita lakukan sekarang. Dapatkah dibayangkan berapa banyak bahan pangan, lahan untuk pertanian, lahan untuk perumahan, dan barang konsumsi lainnya yang dibutuhkan oleh penduduk.Dengan tingginya laju pertumbuhan populasi, maka jumlah kebutuhan makanan pun meningkat padahal lahan yang ada sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan makanan, maka hutan pun mulai bibabat habis. Konversi hutan menjadi tanah pertanian bisa menyebabkan erosi. Selain itu bahan kimia yang dipakai sebagai pupuk juga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Dengan adanya pembabatan hutan dan erosi, maka kemampuan tanah untuk menyerap air pun berkurang sehingga menambah resiko dan tingkat bahaya banjir.

4.Perkembangan Teknologi
Semakin maju perkembangan teknologi, banyak cara praktis dan mudah yang dapat dilakukan, misalnya dalam bidang pertanian , di gunakannya pupuk kimia dan pestisida yang semakin tak terkendali. Perkembangan teknologi yang pesat,  memudahkan  orang untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati secara berlebihan semakin  mudah dilakukan.
5.Daya Regenerasi Yang Rendah
Banyak hewan yang butuh waktu lama untuk masuk ke tahap berkembang biak, biasa memiliki satu anak perkelahiran, butuh waktu lama untuk merawat anak, sulit untuk kawin, anaknya sulit untuk bertahan hidup hingga dewasa, dan sebagainya. Tumbuhan tertentu pun juga terkadang membutuhkan persyaratan situasi dan kondisi yang langka untuk bisa tumbuh berkembang. Hal tersebut menyulitkan spesies yang memiliki daya regenerasi / memiliki keturunan rendah untuk memperbanyak dirinya secara signifikan. Berbeda dengan tikus, ayam, lalat, kelinci, dll yang mudah untuk melakukan regenerasi.
6.Campur Tangan Manusia
Adanya manusia terkadang menjadi malapetaka bagi keseimbangan makhluk hidup di suatu tempat. Manusia kadang untuk mendapatkan sesuatu yang berharga rela membunuh secara membabi buta tanpa memikirkan regenerasi hewan atau tumbuhan tersebut. Gajah misalnya dibunuhi para pemburu hanya untuk diambil gadingnya, harimau untuk kulitnya, monyet untuk dijadikan binatang peliharaan, dan lain sebagainya.Perubahan areal hutan menjadi pemukiman, pertanian dan perkebunan juga menjadi salah satu penyebab percepatan kepunahan spesies tertentu. Mungkin di jakarta jaman dulu terdapat banyak spesies lokal, namun seiring terjadinya perubahan banyak spesies itu hilang atau pindah ke daerah wilayah lain yang lebih aman.

6.Bencana Alam Besar
Adanya bencana super dahsyat seperti tumbukan meteor seperti yang terjadi ketika jaman dinosaurus memungkinkan banyak spesies yang mati dan punah tanpa ada satu pun yang selamat untuk meneruskan keturunan di bumi. Sama halnya dengan jika habitat spesies tertentu yang hidup di lokasi yang sempit terkena bencana besar seperti bancir, kebakaran, tanah longsor, tsunami, tumbukan meteor, dan lain sebagainya maka kepunahan mungkin tidak akan terelakkan lagi.

7.Didesak Populasi Lain Yang Kuat
Kompetisi antar predator seperti macan tutul dengan harimau mampu membuat pesaing yang lemah akan terdesak ke wilayah lain atau bahkan bisa mati kelaparan secara masal yang menyebabkan kepunahan.

8.Spesies Yang  Terancam Punah
World Wildlife Fund (WWF) mencatat, spesies yang terancam punah karena berbagai sebab sangat banyak, mulai dari tuna sirip biru, beruang laut Pasifik hingga kupu-kupu Monarch. Dalam survei yang dilakukan terhadap 47.677 jenis hewan dan tumbuhan yang tergolong daftar merah didapati 17.291 spesies yang terancam punah alias hilang dari muka bumi.
Dibandingkan dengan 2008, dalam survei kali ini, jumlah spesies yang terancam punah mengalami peningkatan sebanyak 2.800 spesies. Beberapa spesies yang terancam punah itu antara lain dua jenis kadal yang ditemukan belum lama ini di Filipina, juga katak pohon Panama yang amat langka.
Seperlima spesies yang terancam punah merupakan jenis mamalia dan sebagian lagi merupakan jenis reptil. Craig-Hilton Taylor, yang mengelola daftar itu, mengatakan, apa yang terdata hanyalah puncak gunung es dari kondisi di alam sebenarnya. Artinya, jumlah spesies yang terancam punah bisa jadi lebih banyak dari itu, tetapi tidak terdata dalam survei.

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar, yakni 17 persen dari seluruh jumlah spesies di dunia walupun hanya memiliki luas wilayah sebesar 1,3 persen dari luas daratan di dunia.
Keanekaragaman hayati di Indonesia terus mengalami kemerosotan. Data yang dihimpun dari "red list" menyatakan tujuh jenis flora dan fauna di Indonesia dinyatakan punah, 160 spesies dinyatakan dalam katagori kritis terancam punah dan 175 jenis dikatagorikan terancam punah.
Dalam daftar merah itu disebut juga harimau yang diperkirakan populasinya kini hanya sekitar 3.500 ekor. Keberadaan harimau di Asia, termasuk Indonesia, diyakini dalam kondisi sangat terancam karena perburuan liar, konversi lahan, dan pembukaan hutan.Selain itu, 465 jenis dikatagorikan "vurnerable" atau mudah terancam punah dan 20 jenis dikatagorikan terancam dan sangat tergantung pada upaya konservasi.

5. Polusi dan Pencemaran Lingkungan
Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat  tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 1982).
Zat atau bahan yang dapat mengakibatkan pencemaran disebut polutan. Syarat-syarat suatu zat disebut polutan bila keberadaannya dapat menyebabkan kerugian terhadap makhluk hidup. Contohnya, karbon dioksida dengan kadar 0,033% di udara berfaedah bagi tumbuhan, tetapi bila lebih tinggi dari 0,033% dapat rnemberikan efek merusak.

Suatu zat dapat disebut polutan apabila:
1. jumlahnya melebihi jumlah normal
2. berada pada waktu yang tidak tepat
3. berada pada tempat yang tidak tepat
Sifat polutan adalah:
1. merusak untuk sementara, tetapi bila telah bereaksi dengan zat
lingkungan tidak merusak lagi
2. merusak dalam jangka waktu lama.
Contohnya Pb tidak merusak bila konsentrasinya rendah. Akan tetapi dalam jangka waktu yang lama, Pb dapat terakumulasi dalam tubuh sampai tingkat yang merusak.
Macam-macam Pencemaran
Macam-macam pencemaran dapat dibedakan berdasarkan pada tempat terjadinya, macam bahan pencemarnya, dan tingkat pencemaran.
a. Menurut tempat terjadinya
Menurut tempat terjadinya, pencemaran dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu pencemaran udara, air, dan tanah.
1. Pencemaran udara
Pencemar udara dapat berupa gas dan partikel. Contohnya sebagai berikut.
a. Gas HzS. Gas ini bersifat racun, terdapat di kawasan gunung berapi, bisa juga      dihasilkan dari pembakaran minyak bumi dan batu bara.
b. Gas CO dan COz. Karbon monoksida (CO) tidak berwarna dan tidak berbau, bersifat racun, merupakan hash pembakaran yang tidak sempurna dari bahan buangan mobil dan mesin letup. Gas COZ dalam udara murni berjumlah 0,03%. Bila melebihi toleransi dapat meng- ganggu pernapasan. Selain itu, gas C02 yang terlalu berlebihan di
bumi dapat mengikat panas matahari sehingga suhu bumi panas. Pemanasan global di bumi akibat C02 disebut juga sebagai efek rumah kaca.
c. Partikel SOZ dan NO2. Kedua partikel ini bersama dengan partikel cair membentuk embun, membentuk awan dekat tanah yang dapat mengganggu pernapasan. Partikel padat, misalnya bakteri, jamur, virus, bulu, dan tepung sari juga dapat mengganggu kesehatan.
d. Batu bara yang mengandung sulfur melalui pembakaran akan meng- hasilkan sulfur dioksida. Sulfur dioksida ber$ama dengan udara serta oksigen dan sinar matahari dapat menghasilkan asam sulfur. Asam ini membentuk kabut dan suatu saat akan jatuh sebagai hujan yang disebut hujan asam. Hujan asam dapat menyebabkan gangguan pada manusia, hewan, maupun tumbuhan. Misalnya gangguan pernapasan, perubahan morfologi pada daun, batang, dan benih.




Daftar Pustaka
Arief, H. 1995.  Lebensraumpraferenzen das Javanashorn im Ujung Kulon National Park, West Java, Indonesien. Thesis.  Institut fur Wildbiologie und Jagkunde. Georg-August Universitat, Gottingen.
ISSG.  2004.  100 of the world’s worst invasive alien species.  ISSG: Auckland
KLH. 2002. Keanekaragaman hayati dan pengendalian jenis asing invasif. KLH-the Nature Conservancy: Jakarta
Mutaqin, I.Z. 2002.  Upaya penanggulangan tanaman eksotik Acacia nilotica di kawasan Taman Nasional Baluran, dalam KLH (2002), Keanekaragaman hayati dan pengendalian jenis asing invasif. KLH-the Nature Conservancy: Jakarta, pp: 39-48.
Wikipedia. 2008. Invasive species. http://en.wikipedia.org/wiki/Invasive_species.[25 Maret 2008]