Rabu, 14 September 2011

KONSERVASI


KEBAKARAN HUTAN & LAHAN DAN PERUBAHAN IKLIM

Di saat kompleksitas ekosistem global sedikit demi sedikit dimengerti, interaksi antara satu kejadian alam dengan yang lainnya menjadi lebih jelas. Hal ini berlaku pada fenomena perubahan iklim global dengan penyebab sekaligus dampak yang menyertainya di Indonesia, yaitu kebakaran hutan  dan lahan.
Kebakaran hutan dan lahan seakan sudah menjadi tradisi tahunan di Indonesia, terutama setiap kali musim kemarau datang. Pada kejadian kebakaran berskala besar di tahun 1997-98, diestimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengankerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dollar Amerika.
 Kejadian ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 0,81-2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13-40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan baker fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global. Dampak penting dari kebakaran hutan dan lahan sangat dirasakan terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya kepada hutan, satwa liar (seperti gajah, harimau, dan orang utan) yang kehilangan habitatnya, sektor transportasi karena terganggunya jadwal penerbangan, dan juga masyarakat secara keseluruhan yang terganggu kesehatannya karena terpapar polusi asap dari kebakaran. Tercatat sekitar 70 juta orang di enam negara di ASEAN terganggu kesehatannya karena menghirup asap dari kebakaran di Indonesia pada tahun 1997-1998.
Seperti terdapat dalam satu lingkaran, selain berkontribusi terhadap akumulasi GRK di atmosfer dengan bertambahnya emisi karbon dunia, kebakaran hutan dan lahan juga dipicu oleh meningkatnya pemanasan global itu sendiri – dengan penyebab utama tetap merupakan akibat ulah manusia yang melakukan pembakaran dalam upaya pembukaanhutan dan lahan untuk hutan tanaman industri/HTI, perkebunan, pertanian, dll (lihat Gambar 1).




Kemarau ekstrim, yang seringkali dikaitkan dengan pengaruh iklim El NiƱo, memberikan kondisi ideal terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Gambar 1. Proses Konversi Hutan dengan Pembakaran

Setiap tahunnya dalam musim kemarau, hamper berturut-turut, kejadian kebakaran hutan dan lahan berulang dengan berbagai tingkatan. Pada tahun 2002 dan 2005, kebakaran hutan dan lahan terjadi kembali dengan skala yang cukup besar terutama diakibatkan oleh konversi hutan di lahan gambut. Dari data yang terkumpul terhitung sejak 1997-1998, rata-rata 80% kebakaran hutan dan lahan terjadi di lahan gambut. Data yang dianalisis WWF-Indonesia menunjukkan bahwa di Provinsi Kalimantan Tengah mayoritas kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2002-2003 terjadi di lahan gambut. Sedangkan, di Provinsi Riau dalam periode tahun 2001-2006, sekitar 67% kebakaran terjadi di lahan gambut.

Gambar 2. Contoh Citra Satelit IKONOS Kebakaran di Areal Perkebunan Sawit di Riau (CRISP, 2005)

Hutan pada lahan gambut mempunyai peranan penting dalam penyimpanan karbon (30% kapasitas penyimpanan karbon global dalam tanah) dan moderasi iklim sekaligus memberikan manfaat keanekaragaman hayati, pengatur tata air, dan pendukung kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki 20 juta hektar lahan gambut yang terutama terletak di Sumatera (Riau memiliki 4 juta hektar) dan Kalimantan. Pondasi utama dari lahan gambut yang baik adalah air. Bila terjadi pembukaan hutan gambut maka hal ini akan mempengaruhi unit hidrologinya. Dengan sifat gambut yang seperti spons (menyerap air), maka pada saat pohon ditebang, akan terjadi subsidensi sehingga tanah gambut yang sifatnya hidropobik tidak akan dapat lagi menyerap air dan kemudian mengering. Dalam proses ini, terjadilah pelepasan karbon dan sekaligus mengakibatkan lahan gambut rentan terhadap kebakaran yang pada gilirannya dapat menyumbangkan pelepasan emisi karbon lebih lanjut.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup, diperkirakan lahan gambut di Riau saja menyimpan kandungan karbon sebesar 14.605 juta ton. Bila pembukaan lahan gambut dibiarkan, apalagi diikuti dengan pembakaran hutan dan lahan, maka dapat dibayangkan berapa banyak karbon yang terlepas ke atmosfer dan pemanasan global ataupun perubahan iklim menjadi lebih cepat terjadi, sekaligus dampak ikutan seperti asap dan lainnya akan terus dirasakan oleh masyarakat setiap tahunnya. Untuk itu, WWF-Indonesia menghimbau pihak pemerintah, swasta dan masyarakat luas untuk bersama-sama berbuat mencegah kejadian kebakaran hutan dan lahan terutama:
    Pembukaan lahan gambut harus dihentikan dan semua lahan gambut harus dilindungi dan dikelola secara seksama dengan memperhatikan tata hidrologi secara makro dan potensi lepasnya emisi karbon ke atmosfer.
    Sektor swasta harus menerapkan praktek pengelolaan lestari dan bertanggung jawab, termasuk meniadakan pembakaran lahan dan melindungi daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman hayati di sekitar konsesi mereka.
    Harus ada mekanisme terpadu untuk mengkoordinasi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, mensinergikan dan menerapkan peraturan terutama terkait perlindungan lingkungan.
    Masyarakat setempat harus diberdayakan oleh pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaanlahan yang lestari, terutama membantu petani/ pekebun skala kecil dalam proses transfer ilmu dan teknologi untuk menerapkan pembukaan lahan tanpa bakar.

                    WWF, organisasi dunia yang bergerak di bidang konservasi dan didirikan tahun 1961 di Swiss. WWF-Indonesia memulai programnya di Indonesia pada tahun 1963 dengan membantu pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon di Jawa Barat. WWF-Indonesia memiliki status hukum sebagai yayasan pada tahun 1996 dan sejak itu beroperasi sebagai organisasi nasional yang merupakan bagian dari jejaring WWF global. Misi WWF-Indonesia adalah untuk melindungi biodiversitas Indonesia demi kesejahteraan hidup manusia untuk generasi sekarang dan mendatang.
                    WWF-Indonesia memiliki empat tematik program yang terdiri dari: Hutan; Kelautan; Spesies; Perubahan Iklim/ Energi. Selain itu, juga memiliki divisi-divisi: Kebijakan/ Corporate Engagement; Komunikasi dan Penjangkauan; serta Services and Resources, yang berfungsi sebagai lintas-program dan yang mendukung organisasi WWF-Indonesia secara menyeluruh. Pendekatan yang digunakan WWF-Indonesia adalah:
     Mempromosikan kaidah-kaidah konservasi, penyadar-tahuan konservasi, dan aksi-aksi konservasi di kalangan masyarakat Indonesia secara kuat
     Memfasilitasi upaya multi-pihak untuk perlindungan biodiversitas dan proses-proses ekologis pada skala ekoregion
     Melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung konservasi
     Mempromosikan konservasi demi kehidupan manusia, melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Kamis, 07 Juli 2011

HAMA DAN PENYAKIT PADA TANAMAN SENGON DAN CARA PENANGGULANGANNYA

A.   Hama
Serangan hama pada tanaman sengon yang perlu diwaspadai adalah hama ulat serendang (Xystrocera festiva). Gejala serangannya terlihat pada kulit pohon yang pecah-pecah, lalu mengeluarkan cairan berwarna coklat sampai kehitaman. .Bahkan, bersamaan dengan cairan tersebut juga keluar serbuk kayu bekas gerekan. Bila tingkat serangan ulat serendang makin mengganas, maka tak dapat dipungkiri pohon itu akan patah. Adapun cara penyerangannya, kumbang-kumbang serendang atau disebut juga "uter-uter ", "engkes-engkes" maupun " boktor wowolan" yang telah dewasa meletakkan telurnya secara berkelompok pada bekas cabang atau luka-luka pohon sengon. Sekali bertelur mencapai 400 butir. Selanjutnya, telur dewasa menetas menjadi ulat dan masa stadium ulat mencapai 5-6 bulan. Ulat-ulat inilah yang melakukan penggerekan pada kulit bagian dalam, atau menyerang kayu muda ke arah bawah. Fase berikutnya, jika ulat hendak menjadi kepompong, biasanya justru mengebor ke dalam batang pohon dan membelok ke arah atas sepanjang kira-kira 20 cm. Di penghunjung pengeboran itulah ulat berubah menjadi kepompong dengan kepala menghadap ke bawah. Masa stadium kepompong 15-21 hari.
Teknis pengendaliannya dapat dilakukan secara mekanis-tradisional. Ambilah kawat kecil lalu masukan ke lubang yang pernah dibuat serendang, dan ikuti arah lubang tersebut, kemudian ditusuk-tusukkan hingga serendang mati. Sedangkan cara lain, dengan model "pantek". Ambil kapuk dan celupkan kedalam insektisida, lalu sumbatkan pada pintu lubang tersebut, maka serendang pun mati. Atau, terpaksa merelakan menebang pohon yang terserang lalu dimusnahkan, agar ulat serendang tidak mejalar kemana-mana.
Selain itu ada beberapa jenis hama lain yang sering menyerang tanaman sengon seperti :
1.    Hama penggerek batang/ Boktor (Xystrocera festiva)
Serangan ditandai dengan adanya luka pada batang.  Telur diletakkan pada celah luka.  Sejak larva menetas segera melakukan aktivitas penggerekan ke dalam jaringan kulit batang. Bahan makanan yang disukai adalah bagian permukaan kayu gubal (xylem) dan bagian permukaan kulit bagian dalam (floem).  Adanya serbuk gergajian merupakan gejala serangan awal.
Pengendalian hama dilakukan dengan mencongkel kelompok telur, menyeset kulit batang tepat pada titik serangan larva boktor sehingga larva jatuh/ terlepas. Pengendalian hama dapat juga dilakukan dengan menggunakan musuh alami parasitoid, predator misalnya kumbang pengebor kayu (Macocentrus ancylivorus) dan jamur parasit (Beauveria bassiana). Pengendalian hama juga dapat dilakukan dengan cara suntik/ bor dan bacok dengan insektisida.
2.    Hama ulat kantong (Ptero plagiophleps)
Hama ini tidak memakan seluruh bagian daun tetapi hanya parenkhim daun yang lunak, menyisakan bagian-bagian daun yang berlilin.  Daun yang terserang terdapat bercak coklat. Pengendalian hama ulat kantong dengan menggunakan insektisida.  Misalnya virtako, ambush, dessin, bomber, karate dan lainnya. Pengendalian hama ulat kantong juga dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida alami.  Berupa campuran 1 kg daun dan batang tembakau yang dihancurkan, ditambah 1 sendok teh sabun colek dan 15 liter air.  Campuran tersebut direndam selama 24 jam.  Setelah itu campuran disaring dan siap untuk disemprotkan.
B.   Penyakit
Tanaman sengon kadang-kadang diserang penyakit akar merah yang disebabkan cendawan Ganoderma pseudoferrum. Gejalanya tampak pada daun yang layu dan rontok sehingga akhirnya sengon bisa mati. Penyakit ini terutama menyerang akar sengon. Jika kulit akar dikupas, tampak benang merah menempel pada kayu akar. Penyakit lain yaitu penyakit madu yang disebabkan cendawan Armillaria mellea. Gejalanya hampir sama dengan penyakit akar merah, namun perbedaannya, dibawah kulit akar terdapat benang-benang berwarna putih. Teknis pengendaliaanya dilakukan dengan melakukan dan membuang pohon sengon yang terserang, membuat selokan isolasi sedalam 1-1,5 m mengelilingi pohon, atau menyempotkan fungisida.
Selain itu ada juga penyakit penyakit karat furu (Uromycladium teperrianum), serangan ditandai dengan pembengkakan (galis) pada batang, ranting, anak ranting dan helaian daun.  Galis merupakan tubuh buah jamur. Penyakit ini menyerang sangat cepat dan menyerang semua tingkatan umur. Pengendalian penyakit karat furu dengan cara mematikan sel-sel penyakit furu, membuang bagian yang terserang, atau mengelupas bagain yang ada galisnya.  Selanjutnya dioles atau disemprot dengan campuran alami agar tidak tumbuh lagi. Campuran alaminya bisa berupa spirtus, atau campuran 5 kg kapur + 0,5 kg garam + 5/ 10 bagian air, atau campuran 1 kg belerang + 1 kg kapur + 10/ 20 liter air. Campuran dioleskan atau disemprotkan 2 minggu – 1 bulan sekali. 

                 : www.migroplus.com/brosur/Budidaya%20Sengon.pdf.